Tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan bahwa secara umum keberadaan orang Kristen di Indonesia dewasa ini mengalami dan menghadapi tantangan yang berat dan besar.
Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada dalam Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010. mencatat adanya kasus di seputar rumah ibadah sebanyak 18 kasus pada laporan tahun 2009 dan 39 kasus pada laporan tahun 2010 lalu. Sementara dari 39 kasus pada tahun 2010 itu, 32 kasus mengetengahkan adanya konflik antarumat beragama, 4 kasus memperlihatkan adanya konflik internal umat beragama seperti internal umat Muslim, 1 kasus memperlihatkan adanya konflik internal umat Protestan dan 1 kasus konflik internal umat Katholik. 3 kasus lainnya tidak dapat diidentifikasi. Yang menarik, dari kasus-kasus tadi tidak ada satu kasus pun yang berupa keberatan umat Kristiani terhadap masjid atau tempat ibadah umat Muslim. Sebaliknya, kasus-kasus itu justru menunjukkan adanya keberatan umat Muslim terhadap keberadaan gereja atau tempat ibadah umat Kristiani.
Institut Leimena News juga mencatat bahwa pada tahun 2009 lalu terdapat setidaknya 154 kebijakan daerah yang diskriminatif di Indonesia. Disebut diskriminatif karena kebijakan itu menyebabkan pembedaan, pembatasan, dan pengabaian kesempatan warga negara, khususnya perempuan dan kelompok minoritas, untuk dapat menikmati hak-haknya sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi.
Dari dua catatan di atas cukuplah menunjukkan kepada kita betapa keberadaan orang Kristen di Indonesia semakin terdesak, diperlakukan sebagai warga negera kelas dua, yang hak-hak dan suaranya semakin tidak diindahkan, kepentingannya semakin tidak dilindungi.
Tekanan berat pada kelompok minoritas dan orang kecil di negeri ini
Kita menderita oleh tekanan dan perlakuan yang demikian. Ini sebuah fakta. Tetapi kalau kita mau melihat keluar dari tembok-tembok gereja, kita melihat dunia sekeliling kita, kita juga akan menemukan penderitaan yang kita alami ini ternyata juga dialami oleh kelompok-kelompok minoritas lainnya di negeri kita ini. Penyerangan oleh sekelompok orang terhadap penganut Ahmadiyah di Cikeusik Februari 2011. Pembakaran rumah dan pesantren penganut Syiah di Sampang, Madura 29 Desember 2011. Itulah dua contoh kejadian yang mudah kita temukan, yang mencerminkan penderitaan seperti yang kita alami.
Lebih lanjut, penderitaan yang sama ternyata juga dialami oleh orang-orang kecil di negeri kita ini. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj mengemukakan rakyat terus dipertontonkan tindakan yang jauh dari rasa keadilan oleh aparatur negara. Mulai dari kasus pencurian sandal jepit dengan terdakwa anak berusia 15 tahun, konflik petani dengan polisi di Mesuji, baik Lampung maupun Sumatera Selatan, hingga penembakan terhadap rakyat oleh polisi saat mereka berunjuk rasa menentang kehadiran perusahaan tambang di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Bagaimana kita mau menyikapi penderitaan kita dan kelompok minoritas lainnya serta orang-orang kecil di negeri kita ini? Apa yang meski kita perbuat dalam situasi seperti ini?
Aku telah melihat Tuhan
“Aku telah melihat Tuhan!”, itulah kata-kata Maria Magdalena yang diucapkan di depan murid-murid Yesus (Yohanes 20:18). Kesaksian sekaligus ajakan Maria Magdalena kepada murid-murid yang diungkapkan dengan gembira, setelah ia mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit.
Dalam peristiwa kebangkitan Yesus ini, kata “melihat” menjadi kata penting. Dalam Yohanes 20:1 disebutkan bahwa Maria pergi ke kubur Yesus. Tidak dijelaskan di sini, untuk apa Maria pagi-pagi benar pergi ke kubur itu. Tetapi Injil Lukas menerangkan, Maria pergi ke kubur Yesus dengan membawa rempah-rempah (Lukas 24:1). Injil Markus mengatakan Maria hendak meminyaki Yesus yang terkubur, Yesus yang mati (Markus 16:1). Injil Matius secara tidak langsung menyebutkan, Maria hendak mencari Yesus yang disalibkan (Matius 28:5). Maria melihat bahwa kubur itu terbuka, jenazah Yesus sudah tidak ada di sana. Maria mengira jenazah Yesus diambil orang. Maria segera berlari memberitahu Simon Petrus dan murid yang lain (Yoh. 20:2).
Sesudah itu, masih berada di dekat kubur, Maria menangis. Kapan Maria kembali ke kubur Yesus setelah ia memberitahu Simon Petrus dan murid yang lain, tidak dijelaskan di sini. Kali ini Maria melihat dua orang malaikat yang berpakaian putih. Maria mendengar malaikat itu bertanya kepadanya, lalu ia menjawab: “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan.” (Yoh. 20:13). Sekali lagi di sini, Maria masih tetap menganggap jenazah Yesus diambil orang.
Tidak lama sesudah menjawab pertanyaan malaikat, Maria menoleh ke belakang dan melihat Yesus berdiri di situ, tetapi ia tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus. Maria menyangka bahwa yang ia lihat itu penunggu taman (Yoh. 20:15).
Tiga hal yang telah dilihat Maria: kubur kosong, malaikat, dan Yesus yang berdiri di dekatnya, belum membuat Maria mengenali Yesus yang bangkit dari kematian-Nya. Tanda-tanda lahiriah yang dilihat oleh Maria tidak membuat ia percaya kalau Yesus hidup. Tidak seperti “murid yang lain” yang disebut dalam Yohanes 20:8, yang masuk ke dalam kubur, tidak melihat jenazah Yesus di situ, lalu ia percaya.
Maria baru mengenali dan percaya kalau Yesus bangkit, Yesus hidup, setelah Maria mendengar sapaan Yesus yang hidup: “Maria”. Yesus menyebut namanya (Yoh. 20:17). Sapaan yang mencerminkan kedekatan hubungan antara Maria dengan Yesus. Maria mengenali sapaan itu, lalu percaya kepada Yesus yang bangkit. Pengenalan Maria terhadap Yesus yang bangkit, dipicu oleh pengalaman pribadi Maria dalam kedekatan hubungannya dengan Yesus (Yoh. 20:17).
Secara tersirat, perkataan Maria: “Aku telah melihat Tuhan” (Yoh. 20:18), merupakan suatu kesaksian tentang pengenalan dan kepercayaan Maria kepada Yesus yang bangkit. Perkataan Maria itu juga mengisyaratkan ajakan Maria kepada semua orang, untuk mengenali dan percaya kepada Yesus yang hidup. Maria mengajak semua orang, termasuk kita semua, untuk terus bergaul dengan Yesus dan percaya kepada-Nya, sekalipun kita tidak melihat sedikitpun tanda-tanda lahiriah tentang kebangkitan Yesus.
Dalam konteks kehidupan kita dewasa ini – di tengah-tengah sutuasi di negeri ini, di mana tanda-tanda Allah bertindak menolong orang-orang kecil dan kelompok minoritas yang diperlakukan tidak adil tidak begitu kelihatan – perkataan Maria mengajak kita semua untuk tetap percaya kepada Yesus. Peristiwa Paskah memang tidak menyediakan tanda-tanda lahiriah sebagai bukti. Percaya tidak tergantung suatu bukti. Itulah yang ditegaskan oleh Tuhan Yesus: “............. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya“ (Yohanes 20:29b).
Melihat Yesus yang turut menderita dan bangkit
Kembali ke perkataan Maria: “Aku telah melihat Tuhan!”. Perkataan Maria ini juga mencerminkan adanya perubahan pemahaman yang terjadi dalam diri para pengikut Yesus.
Maria adalah orang pertama yang menemukan kubur kosong (Yohanes 20:1; Matius 28:1-7; Markus 16:1-6; Lukas 24:1-3). Kubur merupakan tempat untuk meletakkan jenazah orang yang meninggal. Dalam pikiran para pengikut Yesus, kubur merupakan tempat peristirahatan abadi, menjadi tempat terakhir mengabadikan kegagalan perjuangan-Nya (hidup dan karya-Nya, sengsara dan kematian-Nya) sampai titik darah penghabisan. Kubur menjadi simbol kegagalan manusia mempertahankan hidupnya.
Pada pagi-pagi benar, hari pertama minggu itu, Maria tidak menemukan jenazah Yesus. Injil Matius menjelaskan: “… kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit …….” (Matius 28:5b-6; lihat juga Markus 16:6, Lukas 24:5b-7). Penemuan kubur yang kosong ini merupakan suatu hal yang tidak alamiah. Logika akal sehat mengatakan, kalau kubur itu kosong, pastilah jenazahnya diambil atau dicuri orang. Demikian itu pula yang ada dalam pikiran Maria. Maria menemukan simbol kegagalan itu hilang diambil orang. Choan Seng Song menuliskan:
“….. kubur kosong itu tentulah memberikan para murid dan pengikut Yesus yang lain suatu dilemma yang jauh lebih besar daripada salib. Proses yang membawa pada salib dalam arti tertentu dapat dipahami, tetapi kubur kosong itu menghancurkan logika kehidupan dan kematian, mengkontradiksikan hukum alam, dan memutuskan kesinambungan pengalaman sejarah.”
Dengan melihat kubur kosong kemudian ikut mengalami pengalaman kebangkitan seperti dialami oleh Maria dan murid-murid yang lain, kita diajak untuk mengakhiri dan meninggalkan pemahaman tentang Yesus yang tak berdaya dan gagal dalam perjuangan-Nya. Secara perlahan-lahan dan berangsur-angsur, pemahaman seperti itu harus ditinggalkan, digantikan dengan pemahaman baru yang ditemukan, bahwa penderitaan dan kematian itu adalah jalan yang justru dipilih dan harus dilalui oleh Yesus dalam mewujudkan kasih-Nya kepada dunia ini. Paulus mengatakan:“Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (1 Korintus 1:18)
Perkataan Maria: “Aku telah melihat Tuhan!”, menjadi undangan dan ajakan kepada kita untuk meninggalkan pemahaman bahwa penderitaan itu selalu terjadi karena kesalahan kita. Memang, orang bisa menderita karena melakukan korupsi atau kejahatan, lalu masuk penjara. Orang yang kecanduan judi, kemudian jatuh miskin, lalu menderita. Tetapi bisa juga terjadi, orang berbuat baik, orang bertindak benar, malah menderita. Ada penderitaan karena berbuat jahat, dan ada juga penderitaan karena berbuat baik dan benar. Surat 1 Petrus 2:20 menyebut:
“Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah.
Penderitaan karena berbuat baik, inilah penderitaan jenis kedua. Kalau penderitaan jenis pertama – menderita karena berbuat jahat – itu memalukan, maka penderitaan jenis kedua ini – menderita karena berbuat baik – itu menjadi suatu kemuliaan. Penderitaan jenis kedua inilah yang oleh Surat 2 Timotius 2:3 disebut ikut menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus.
Dalam konteks kita saat ini, perkataan Maria: “Aku telah melihat Tuhan!”, mengisyaratkan ajakan kepada kita agar tidak lari meninggalkan penderitaan yang tengah melanda hidup kita. Kita diajak untuk rela menerima dan menjalani hidup dalam penderitaan ini bersama-sama dengan sesama yang miskin dan kelompok-kelompok minoritas di negeri ini. Dengan tetap menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam tindakan yang jahat, salah, dan tidak benar; dengan rela kita jalani penderitaan hidup ini.“Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.” (1 Petrus 2:21).
DEN