Benih yang tumbuh di GKJ Gatak Sukoharjo diawali
oleh seorang tenaga pendidik yaitu keluarga S. Satyatmaja, yang mengajar di
Sekolah Dasar. Sebagaimana figur seorang guru beliau sangat dihormati oleh
warga masyarakat khususnya di wilayah Dusun Tumpeng, Desa Luwang, Kecamatan
Gatak. Filosofi jawa yang mengatakan
bahwa sosok Guru patut “digugu lan ditiru” melekat di kalangan mayarakat. Hal
tersebut muncul ketika warga masyarakat menyaksikan kesaksian hidup yang
dilakukan oleh keluarga S. Satyatmaja.
Seiring dengan kesaksian beliau, maka tidaklah heran
ketika banyak warga masyarakat simpati dengan kehidupannya, serta ada beberapa
warga yang berkeinginan untuk mengikuti jejaknya dan menjadi Kristen. Tanggapan
warga masyarakat ternyata tidak hanya di wilayah Tumpeng tapi menyebar ke desa
Blimbing, Klaseman, dan Trosemi. Maka pada bulan Januari 1965 beliau mengajak
jemaat untuk mengadakan ibadah. Berkat terjalinnya hubungan yang baik dengan
pemerintah desa Blimbing, jemaat ini diperkenankan untuk mengadakan ibadah di
Balai Desa Blimbing yang diikuti oleh 20 orang. Kurang lebih 13 bulan ibadah berlangsung
di tempat tersebut. Karena jumlah jemaat yang semakin banyak dan balai desa
sering digunakan oleh pemerintah desa, maka pada tanggal 6 Februari 1966 ibadah
dipindahkan ke rumah Bp Suyarno Praptohandoyo di Tumpeng.
Pelaksanaan ibadah sering juga dilayani oleh Pdt
Notosoedarmo dari GKJ Delanggu. Bp S. Satyatmaja dan Pdt Notosoedarmo mempunyai
keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan. Karena Allah turut bekerja
dalam setiap pelayanan yang terjadi. Dan terbukti semakin hari jumlah mereka semakin
bertambah banyak meskipun belum memiliki tempat ibadah yang permanent.
Pada hari Selasa tanggal 17 September 1968 GKJ
Wonosari sebagai gereja pepanthan didewasakan oleh GKJ Delanggu sekaligus
menjadikan Gereja Gatak sebagai pepanthan GKJ Wonosari dan Pdt S Notosoedarmo
sebagai konsulennya. Ibu Syamtiyah selaku istri pendeta konsulen dengan tekun
mendampingi bahkan juga turut melayani dan membina melalui katekisasi sehingga
semakin hari iman mereka semakin bertumbuh.
Komunikasi dan hubungan dengan pemerintah desa
setempat selalu terjalin dengan penuh keharmonisan sehingga nampak juga buah
dari kerjasama itu. Gereja diberi sebidang tanah seluas 600 m² yang berlokasi
di dusun Tempel, desa Blimbing dengan status hak milik. Kemurahan Tuhan selalu
nampak ketika warga jemaat terus bergumul untuk memiliki gedung sebagai sarana
ibadah. Dengan bergotong-royong dibantu Sinode dan warga jemaat maka pada
tanggal 1 Juni 1971 pembangunan gedung Gereja dimulai. Proses pembangunan
gedung Gereja memerlukan waktu kurang lebih tujuh tahun karena faktor biaya
menjadi kendala. Akhirnya pada tanggal 25 Desember 1978 gedung Gereja sudah
bisa digunakan dan ibadah yang semula di rumah Bp Suyarno Praptohandoyo saat
itu dipindahkan dan dilaksanakan di gedung Gereja.
Pada tahun 1993 jumlah warga jemaat GKJ Wonosari
pepanthan Gatak ada 168 warga dewasa dan 119 anak-anak. Suatu bukti campur
tangan Tuhan Gereja terus berkembang. Melihat perkembangan warga GKJ Wonosari
pepanthan Gatak maka dalam persidangan Klasis Kartasura ke 26 di GKJ Wonosari,
majelis sepakat untuk mengusulkan pepanthan Gatak segera didewasakan. Usulan
tersebut ternyata mendapat tanggapan dari Klasis Kartasura, maka mulai tahun
2002/2003 Gereja Gatak dilatih untuk mandiri oleh GKJ Wonosari.
Sidang Klasis Kartasura ke 27 di GKJ Simo, Majelis
Gereja Gatak mengusulkan kembali pendewasaanya setelah dilatih mandiri oleh
Gereja induk dan mendapatkan tanggapan. Tepatnya tanggal 5 Juni 2004 Gereja
Gatak yang sebelumnya pepanthan dari GKJ Wonosari akhirnya dewasa. Jumlah warga
saat didewasakan yaitu 69 warga anak-anak dan 229 warga dewasa tersebar di 4
kelompok yaitu Tumpeng, Blimbing, Boto, dan Klaseman. Majelis yang bertugas
saat itu : Ketua alm. Bp Sardjono, Sekretaris Bp Purwosudarmo, dan Bendahara Bp
Budiarto.[1]
0 komentar:
Posting Komentar